SUMO777 – Fadli Zon Ragukan Pemerkosaan Massal 1998 Terstruktur dan Sistematis: Buktinya Tidak Pernah Ada

admin Avatar
Menteri Kebudayaan Fadli Zon setelah memberi pembekalan kepada 86 kepala daerah peserta retret gelombang kedua di Kampus IPDN Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa (24/6/2026).

Lihat Foto

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, kembali mempertanyakan apakah benar telah terjadi pemerkosaan massal Mei 1998.

Hal ini ia sampaikan ketika merespons kritik terhadap sikapnya yang sebelumnya mempersoalkan penggunaan istilah “massal” dalam merujuk pada kekerasan seksual yang terjadi saat kerusuhan 1998.

“Jadi itu harus ada fakta-fakta hukum, ada (bukti) akademik, jadi ada siapa korbannya, di mana tempatnya, mana kejadiannya, itu kan harus ada,” ujar Fadli di Kampus IPDN Jatinangor, Jawa Barat, Selasa (24/6/2025).

Menurut Fadli, sejarah kekerasan seksual harus disusun berdasarkan fakta konkret dan data yang dapat diverifikasi secara hukum dan akademik.

Ia menegaskan, pernyataannya adalah pandangan pribadi dan tidak berhubungan dengan agenda penulisan ulang sejarah nasional oleh kementeriannya.

Apakah Fadli Zon Menyangkal Terjadinya Kekerasan Seksual?

Fadli menegaskan bahwa ia tidak menyangkal telah terjadi kekerasan seksual pada masa kerusuhan Mei 1998.

Namun, ia meragukan apakah peristiwa tersebut memenuhi syarat untuk disebut sebagai “pemerkosaan massal.”

“Saya yakin terjadi kekerasan seksual itu waktu itu, tetapi massal itu sistematis, seperti terjadi oleh tentara Jepang di Nanjing atau oleh tentara Serbia kepada Bosnia. Seperti peristiwa itu, namanya massal. Ada unsur sistematis, terstruktur, dan masif,” katanya.

Ia mempertanyakan apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual pada 1998 terjadi dengan pola yang terorganisasi dan dalam skala luas.

“Sekarang ada enggak (unsur terstruktur, sistematis, dan massif)? Kalau ada? Buktinya tidak pernah ada,” imbuhnya.

Apakah Pernyataan Fadli Zon Akan Mempengaruhi Penulisan Ulang Sejarah?

Fadli menegaskan bahwa pandangannya tidak memengaruhi proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digagas pemerintah.

Ia menyebut pendapatnya sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi.

“Itu pendapat saya pribadi, ini enggak ada urusannya dengan sejarah, dan boleh kan dalam demokrasi itu berbeda pendapat, kalau ada yang mempunyai bukti-bukti, ini loh namanya massal,” katanya.

Meski demikian, publik mempertanyakan netralitas pernyataan tersebut mengingat posisinya sebagai Menteri Kebudayaan yang berperan dalam penyusunan narasi sejarah nasional.

Pernyataan Fadli menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk aktivis HAM dan tokoh politik. Kritik muncul karena dianggap mengabaikan penderitaan korban dan memperkecil arti peristiwa traumatik nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *